Warung Kopi Sri
![]() |
| Gambar ilustrasi Warung kopi Sri |
Kisah ini saya ceritakan ulang, dalam rangka merayakan hari ulang tahun Widz Stoops, yang bekerjasama dengan Secangkir Kopi Bersama (SKB) mengadakan lomba karya tulis. Karya tulis yang di khususkan untuk mengulas geliat, kehidupan, dan perjuangan penjual/warung kopi di sekitar kita atau mungkin warung kopi milik kita sendiri, warung kopi yang diperkirakan beromzet Rp 75-150 ribu per-hari.
Hari masih belum terlalu siang, dan menurut saya masih sedikit manusiawi rasanya, jika saya menyempatkan waktu sejenak untuk menikmati hidup, dengan memesan segelas kopi di salah satu warung kopi di suatu Dusun yang berbatasan langsung dengan areal Perusahaan HTI di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau ini.
![]() |
| Ilustrasi gambar Warung Kopi Sri |
Sekilas, warung yang saya singgahi memiliki bangunan semi permanen tak berdinding dan terlihat sangat sederhana. Walau begitu, di mata saya warung ini terlihat bersih.
Jam masih menujukkan pukul 09.00 WIB, ketika saya memutuskan untuk mematikan mesin, mencabut kunci kendaraan roda dua yang saya naiki lalu melangkahkan kaki ke dalam warung yang lantainya masih beralaskan tanah ini.
![]() |
| Ilustrasi gambar warung kopi Sri |
Setelah melihat ada menu kopi, serta menanyakan apakah air untuk membuat kopi itu nantinya berasal dari air Termos atau di masak terlebih dahulu dan mendapatkan jawaban dari si pemilik warung, bahwa air yang akan di pakai untuk meracik kopi itu nanti berasal dari air Termos, akhirnya sambil duduk di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu, saya putuskan untuk memesan segelas kopi sachetan dari salah satu merk kopi yang tergantung tidak jauh dari bangku panjang yang tengah saya duduki saat ini.
![]() |
| Segelas Kopi Susu |
Kenapa untuk memesan segelas kopi susu saja saya sedikit rewel? Karena dulu, tepatnya di zaman Kuda masih belum berani memakan roti, saya pernah memesan segelas kopi susu, di salah satu warung kopi dan waktu itu setahu saya kopi susu itu di aduk dengan menggunakan air yang berasal dari Termos, entah karena air nya sudah tidak terlalu panas lagi atau kurang matang, alhasil, setelah minum kopi susu itu, hampir setengah hari saya benar – benar harus berkutat dengan perut saya sendiri yang sepertinya tidak mau diajak kompromi, saat itu tiap sebentar terbirit-birit mencari tempat untuk membuang hajat.
Nah, belajar dari pengalaman itu akhirnya saya memutuskan, jika tidak menggunakan air yang benar-benar matang dan panas, maka saya tidak berani untuk menyeduh bubuk kopi hitam atau menyeduh kopi susu.
Tidak begitu lama, segelas kopi sachetan terhidang di atas Meja, pas di depan hidung saya, sesaat pandangan mata saya berkeliling, mengitari seisi warung kopi yang terletak tidak jauh dari Kelas Jauh Sekolah Dasar Negeri ini.
Di dalam warung sederhana ini setidaknya ada dua meja panjang yang di lengkapi dengan kursi kayu panjang juga, atau mungkin lebih tepatnya kursi yang terbuat dari selembar papan yang di lengkapi dengan kaki – kaki agar bisa di duduki ketika menghadap ke arah meja panjang.
Selain menjual kopi, warung ini juga menyediakan menu sarapan pagi, berupa nasi uduk dan beberapa “gorengan” seperti Bakwan, Tempe dan Pisang goreng sebagai teman meminum kopi di warung ini.
![]() |
| Pisang Goreng |
Sambil nyeruput kopi, mungkin karena memang sudah kebiasan akibat suka penasaran terhadap hal - hal baru, sambil nyeruput kopi saya bertanya, kenapa warung kopi ini di beri nama “Warung Kopi Sri” padahal barusan saya tau, jika nama ibu yang berjualan ini bernama Rukmini atau biasa dipanggil Bu Min.
Wanita paruh baya yang memiliki rambut ikal sedikit keriting sebahu itu cuma tertawa mendengar pertanyaan saya barusan,
“Sri itu nama anak saya,” katanya lagi sambil menaruh beberapa gorengan di atas Meja, tak jauh dari gelas kopi pesanan saya berada.
“Oh gitu, lah sekarang anaknya dimana?” tanya saya lagi,
“Jam segini dia mah masih sekolah,” katanya lagi sambil tertawa ke arah saya,
“Oo, memang anak ibu kelas berapa?"
“Tahun ini tamat SMU, tapi memang masih manja anaknya,”
“Oh gitu? Ngomong – ngomong kok kayaknya dari tadi Warung ini gak begitu rame ya?” tanya saya lagi sambil melihat ke sekeliling yang sedari tadi cuma ada Ibu penjual kopi dan saya sendiri di dalam warung kopi ini.
“Sulit sekarang Mas, apalagi semenjak pemerintah meliburkan anak – anak sekolah, karena apa itu ya? Oo akibat covid- covid gitu kata Orang-orang, makanya sekolah – sekolah pada di liburkan. Padahal dulu pendapatan saya paling banyak ya dari jajanan Anak-anak sekolah, kalau sekarang ya cuma ngarepin goreng pisang, bakwan, nasi uduk dan kopi ini dari bapak – bapak kayak Mas yang kebetulan singgah di warung ini,”
“Oo gitu, trus Ibu jualan sampe sore di tempat ini?”
“Iya, itu rumah saya,” katanya lagi sambil menunjuk ke arah bangunan rumah semi permanen yang memiliki warna putih abu – abu tak jauh dari warung kopi ini.
Sekilas saya melihat bangunan rumah semi permanen, berdindingkan kayu dan berlantai semen di sebelah warung kopi ini juga begitu sepi.
“Bapak kerja dimana Bu?”
“Bapak udah tua Mas, udah gak kuat kerja berat lagi, kalau sekarang ya paling Bapak bantu- bantu ibu cari kayu bakar, untuk memasak gorengan di warung ini.”
“Oh gitu, kenapa gak pake Gas Elpiji Bu?"
"Disini kalau ngandelin Gas Elpiji buat masak, bisa-bisa dapur gak mengepul Mas."
"Kenapa?"
"Selain harganya mahal juga kadang barangnya gak ada,"
"Oh gitu,"
"Iya, dan kalau cuma cari kayu bakar buat masak, disini masih banyak,"
"Iya ya, maaf kalau boleh tau, ngomong-ngomong berapa pendapatan ibu sehari dari berjualan gorengan, kopi dan lain-lain di warung ini?”
“Kalau dulu dapatlah sehari Rp. 100 – 200 ribu, kalau sekarang mah boro-boro,”
“Itu bersih apa kotor?”
“Kotor, itu udah sama buat modal beli bahan yang mau di masak besoknya lagi sama bayar cicilan ke Bank Harian Rp. 20 ribu sehari, saya masih ada utang ke Bank harian, karena dulu minjem uang buat modal jualan di warung ini ke dua Bank harian, jadi yah mau gak mau saya harus bisa setor Rp. 40 ribu sehari ke Bank harian, sisanya nanti baru buat beli bahan yang mau di masak buat jualan besoknya lagi,”
“Waah apa dalam kondisi warung sepi kayak gini cicilan ke Bank harian itu tertutupi?”
“Kadang nutup kadang ya cuma bisa buat beli bahan besoknya lagi, sudah beberapa hari ini terpaksa minta maaf ke penagihnya, belum bisa bayar cicilan, dagangan lagi sepi,”
“Oh iya, ya, kopi berapa segelas Bu?”
“Kalau kopi hitam biasa gak pake susu Rp.3.000, kalau pake susu Rp. 5.000,”
“Oh gitu, trus gorengan ini berapa satu?”
“Seribu Mas, semua sama, Bakwan, Tempe, Pisang goreng, itu saya jual rata, sebiji Rp.1.000,”
“Kalau Nasi Uduk?”
“Sepiring Rp 5.000, tapi itu dulu waktu anak-anak masih pada sekolah, kalau sekarang paling banter yang masih tetap ada yang beli cuma gorengan,”
“Iya, semoga hari ini dan kedepannya bisa laris dagangannya Bu,”
“Iya, Mas terimakasih.”





Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.