Aku tunggu di Gerbang Akhirat (Bagian 5 - 7)
Bagian Lima
<< Sebelumnya
“Leluhur Noormah itu suka datang ke rumah dalam wujud sepasang ular?”
“Ular?”
“Iya, kadang suka tiba-tiba ada di dalam rumah, tapi bisa menghilang tanpa ada bekasnya,”
“Wah ngeri juga ya? Gimana kalau ular itu ular betulan, apa gak bahaya? Kan bisa menggigit?”
“Nggak, ini ular nya beda, sepasang ular itu ada Mahkota di kepalanya, terlihat putih berkilat-kilat kayak intan,”
“Wah, Bapak pernah lihat?”
“Iya, semua anak-anak juga pernah, tapi kalau sekarang ini cuma Ira yang bisa berkomunikasi dengan leluhur Noormah itu,”
“Iya, apakah itu Ular jadi-jadian?”
“Namanya Naga Runting,”
“Wah, kayak pernah dengar nama itu, seperti nama Keris,”
“Iya, memang ada ada Keris itu, tapi yang ikut sama Noormah itu adalah wujud dari kekuatannya, bukan barangnya, sebab Keris Naga Runting itu banyak yang mengaku sudah memilikinya tapi mungkin cuma rumahnya saja sedangkan isi ada di dalam tubuh Noormah,”
“Waduuh! Berarti Wanita yang selama ini Bapak nikahi perwujudan dari Keris Naga Runting?”
“Bisa jadi,”
“Trus, gimana di akhir hayat dari kehidupan bu Noormah? Maksudnya waktu meninggal dunia kemarin, apakah ada yang janggal, apakah bu Noormah kembali berubah menjadi Sebilah Keris?”
“Baik, tidak,seperti manusia biasa dan Noormah tetap tetap terlihat cantik seperti ketika masih hidup, dia meninggalkan kami semua dengan senyuman menghiasi bibirnya,”
“Bukannya Bapak tadi bilang kalau bu Noormah pernah jatuh sakit?”
“Iya, dan setelah 40 hari seperti orang stress itu Noormah kembali normal lagi, bisa mandi dan kembali beraktifitas seperti biasa,”
“Sembuh total?”
“Iya, tapi 40 hari sebelum kematiannya Noormah sudah memberitau Bapak, bahwa dia akan pergi dari dunia fana ini,”
Kutatap lelaki berusia 60 tahun yang tiba-tiba saja menahan tangisnya di sebelahku. Di antara hembusan angin yang menggugurkan dedaunan, kutatap mata lelaki tua yang tadi sempat memperkenalkan dirinya bernama Abdul Majid itu.
Tak ada yang bisa kulakukan untuk mencoba menenangkan gejolak hatinya. Lelaki tua disebelahku ini tengah di rudung duka, dia merasa begitu kehilangan akan kepergian wanita yang begitu di cintai-nya itu.
Di antara suara tiupan angin, kutatap langit yang awalnya terlihat begitu cerah itu sambil membakar sebatang Rokok di tanganku. Dan di bawah langit yang mulai menghitam, Abdul Majid kembali melanjutkan ceritanya.
“Pagi itu, selesai mandi, Bapak tanya, apakah dia sudah bersuci, dan Noormah menjawab, “Belum,” Bapak heran, padahal biasanya Noormah tidak pernah melupakan satu kegiatan yang sepertinya sudah menjadi ritual wajib-nya setelah mandi itu.”
“Bu Noormah selalu ber-wudhu sehabis mandi?”
“Iya, dari semenjak pertama kali Bapak menikahinya pada 40 tahun yang lalu,”
“Iya, Pak,”
“Pagi itu Bapak merasa bahwa ketidakbersamaan kami sudah begitu dekat, Bapak tak kuasa menahan tangis ketika Noormah meminta Bapak untuk memandikannya kembali, Ia merasa masih kurang bersih,”
“Trus Bapak mandikan lagi?”
“Iya, dan ketika sudah selesai mengambil air wudhu, tiba-tiba saja Noormah terjatuh, saat itu Bapak langsung berteriak memanggil anak-anak sambil menangis,”
“Iya,”
“Bapak tidak kuat mengangkat tubuh Noormah sendirian dan akhirnya kami bopong tubuh Noormah ke dalam rumah, karena memang sumur dan kamar mandi kami berada di luar rumah,”
“Iya,”
“Ada sekitar 2 jam Noormah tidak mampu menggerakkan semua anggota tubuhnya, dia seperti orang lumpuh, Bapak dan anak-anak tidak kuat melihatnya, kami semua menangis di sebelah tempat tidur dimana badan Noormah terbaring lemas di atas kasur,”
“Ibu Noormah lumpuh sampai meninggal dunia?”
“Tidak, setelah 2 jam itu Noormah kembali pulih seperti sediakala,”
“Alhamdulillah, trus, bu Noormah sembuh?”
“Iya, dia kembali pulih, dia minta di ambilkan air putih dan setelah meminum air putih itu tiba-tiba saja dia merasakan bahwa seluruh tubuhnya terasa begitu dingin, Noormah meminta bapak memeluk erat tubuhnya sambil berulang kali meminta Bapak menciumnya untuk yang terakhir kalinya, Bapak tidak kuasa menahan tangis, saat itu Bapak menangis sambil berkata, “Jangan pergi Mak, Bapak belum siap Mamak tinggal pergi,”
“Trus?”
Bersambung
Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Bagian Enam
<< Sebelumnya
“Noormah kembali meminta Bapak mencium kening, hidung, pipi kiri kanan dan bibir sekali lagi sebelum bertanya kepada Bapak, “Pak… Apakah Bapak benar-benar mencintaiku?” mendengar kata-kata Noormah itu Bapak kembali menangis sambil mengatakan bahwa selain Tuhan, hanya dia yang Bapak cintai di dunia ini.
“Iya, terus, apa kata bu Noormah?”
“Begitupun aku Pak, Bapak pasangan hidup dan matiku, aku pamit dulu, kutunggu Bapak di Pintu Akhirat,” Bapak menjerit sekeras-kerasnya saat menyadari ternyata setelah mengatakan itu, denyut nadi di tubuh Noormah berhenti. Semua anak dan menantu Bapak masuk ke dalam kamar dan melihat Ibu yang mereka cintai telah meninggal dunia.”
“Ibu Noormah meninggal dunia setelah mengatakan itu?”
“Iya dan semuanya berlangsung begitu cepat, tetangga-tetangga Bapak sudah berkumpul semua dan setelah shalat ashar, jenazah Noormah di kebumikan, karena ketika masih hidup Noormah sempat berpesan agar kelak jika Ia meninggal dunia jenazahnya jangan sampai di malamkan,”
“Iya,”
“Acara pemakamannya berjalan lancar, dan Anak pertama Bapak yang tinggal di Ujung Batu malam nya baru sampai ke rumah duka, sampai malam ke tujuh Noormah meninggal dunia, rumah masih ramai, beberapa anak angkat kami yang tinggal di Pekanbaru, Rokan Hulu juga memutuskan baru akan pulang ke rumah masing-masing setelah tujuh hari kepergian Noormah,”
“Ramai ya Pak?”
“Iya, Noormah itu semasa hidupnya banyak menolong orang dan kepergiannya itu memang cukup membuat kami semua merasa kehilangan.”
“Iya,”
“Tepat di hari ke tujuh Noormah meninggal dunia, dia datang menemui Bapak yang saat itu masih begitu kehilangannya,”
“Dalam mimpi?”
“Bukan, nyata.”
“Ha! Masak sih?”
“Tuhan yang menjadi saksi, jika memang sekiranya Bapak membohongimu,”
“Hemm, apakah Mendiang Noormah tubuhnya tranparan seperti di film-film horror ketika menemui Bapak?”
“Tidak, dia nyata, seperti kita ini,”
“Mustahil,”
“Ada banyak misteri di dunia ini yang tidak mampu di jelaskan dengan kata-kata,”
“Iya, trus mendiang ngomong apa nemuin Bapak di dalam kesedihan?”
“Noormah minta sebelum 40 hari semua hutang-hutangnya minta di lunasi semua, dia memberitau bahwa ada simpanannya di bawah kasur, dan minta agar uang itu Bapak pakai untuk melunasi semua hutang-hutangnya,”
“Dan setelah Bapak cek di bawah kasur itu ternyata memang benar-benar ada?”
“Iya, uangnya ada sekitar Rp.5 juta dan setelah Bapak bayarkan semua hutang-hutangnya masih ada tersisa Rp. 2 juta, dan sisa uangnya yang Rp. 1 juta itu Bapak infak kan ke Mushola di dekat rumah tempat tinggal kami,”
“Ajaib!”
“Di hari yang ke delapan kematian Noormah, Bapak tanpa sengaja melewati Tukang Jahit langganannya di Pasar, waktu itu Rahmi tiba-tiba manggil Bapak, karena katanya baju pesanan Noormah sudah selesai dia jahit. Dan ketika Bapak katakan bahwa Noormah sudah meninggal dunia seminggu yang lalu, Rahmi malah pingsan, Bapak panik dan segera memanggil suaminya yang ada di dalam rumah,”
“Waduh, trus?”
“Setelah siuman Rahmi cerita kalau kemarin dia ditelpo sama Noormah, bahwa besok Bapak akan datang untuk membayarkan baju pesanannya,”
“Ha! Trus?”
“Sisa uang peninggalan Noormah yang ada sama Bapak masih ada Rp.1 juta, dan langsung Bapak bayarkan Rp.500 ribu untuk upah dan bahan baju yang sudah di pesan oleh Noormah,”
“Baju apa Pak?”
“Baju Gamis warna merah marun, semuanya berwarna merah hati mulai dari baju hingga kerudung panjangnya,”
“Trus, Bapak bayari, Baju itu?”
“Iya, Bapak bayar lunas walaupun awalnya Rahmi tidak mau menerima pembayaran itu dan dia iklas kalau baju gamis pesanan Noormah itu mau Bapak bawa pulang,”
“Trus, Baju itu Bapak bawak pulang?”
“Tidak, Bapak berikan pada seorang Perempuan yang selama ini Bapak perhatikan rajin sholat di Mushola dekat Pasar Kandis,”
“Perempuan itu mau menerimanya?”
“Mau, Bapak bilang ke Perempuan itu, bahwa mana tau dengan dipakai untuk melakukan ibadah, Noormah ikut dapat sedikit pahala dari ibadah yang dia kerjakan,”
Bersambung
Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
![]() |
Dokpri. |
Bagian Tujuh
<< Sebelumnya
~~
“Iya, trus?”
“Bapak berikan Baju Gamis beserta kerudung merah marun itu beserta dengan sisa uang Rp.500 ribu itu kepada Perempuan itu. Nama perempuan yang selama ini menjadi Guru ngaji anak-anak kecil di lingkungan Pasar itu Mila.”
“Alhamdulillah ya Pak, semoga bermanfaat dan bisa mendatangkan pahala buat bu Noormah di alam baka sana,”
“Noormah belum meninggal dunia.”
“Loh, kok. Tadi kata Bapak bu Noormah sudah meninggal dunia dan sudah di kebumikan di Kandis sana?”
“Betul, tapi hanya jazadnya saja yang sudah di kebumikan, sedangkan Noormah sendiri sampai saat ini masih berada di dunia ini.”
“Maksudnya?”
“Noormah terkadang masih suka mendatangi Bapak di Rumah.”
“Rumah yang dimana? Rumah yang disini apa rumah yang di Kandis?”
“Rumah yang disini,”
“Trus tetangga-tetangga Bapak tau kalau bu Noormah itu sebenarnya sudah meninggal dunia?”
“Mereka enggak bisa melihat Noormah, hanya Bapak yang bisa melihatnya, biasanya sebelum masuk ke dalam rumah, Noormah selalu mengucapkan salam terlebih dahulu dan sebelum Bapak menjawab salamnya dan menyuruhnya masuk, dia nggak mau masuk ke dalam Rumah,”
“Oh gitu, pake acara ngetuk pintu juga?”
“Nggak, hanya suaranya saja yang terdengar di luar rumah, tapi nanti kalau udah Bapak jawab dan bilang, “Masuklah Mak,” Noormah tiba-tiba saja sudah berdiri di dalam rumah, senyum-senyum sama Bapak, kayak biasa,”
“Waduh! Bapak nggak takut dengan kehadiran bu Noormah yang sudah jelas-jelas meninggal dunia?”
“Takut kenapa? Noormah kan istri Bapak?”
“Iya, ya… Eh, tapi kan bu Noormah sudah meninggal dunia?”
“Cuma beda alam saja, sebenarnya Noormah masih ada,”
“Hemm,,”
“Kamu gak percaya?”
“Entahlah Pak, sejauh aku berjalan sampai kita ketemu di tempat ini, baru pertamakalinya aku mendengarkan cerita aneh seperti ini,”
Tiba-tiba lelaki tua yang mengenakan Kaos oblong berwarna coklat yang terlihat sudah sedikit kumal itu tersenyum sambil menatap ke arahku, lalu meminta Rokok sebatang, setelah membakar dan menghisap dalam-dalam dia menghembuskan asapnya secara perlahan-lahan. Tiba-tiba saja dia berkata sambil menatap lurus kedua mataku,
“Dulu Noormah paling suka dengan Rokok merk ini,”
“Dulu bu Noormah merokok sewaktu masih hidup?”
“Iya, dan Rokok kesukaannya itu persis seperti Rokok ini”
“Ooo gitu?”
Entah kenapa tiba-tiba saja bulu tengkukku meremang berdiri saat Lelaki tua di sebelahku ini mengatakan bahwa merk Rokok kesukaan Noormah itu sama dengan merk Rokok kesukaanku saat ini.
“Bapak jalan dulu, nanti singgahlah ke rumah Bapak,”
“Iya Pak, terima kasih, rumah Bapak dimana?”
Lelaki tua yang tadi memperkenalkan dirinya bernama Abdul Majid itu menunjuk ke arah barisan Bukit-bukit yang menjulang tinggi.
“Rumah bapak berwarna biru, cuma ada satu Rumah berwarna biru di ujung jalan ini dan bapak tinggal disitu seorang diri,”
“Baik, Pak. Nanti insyaallah aku singgah kalau tidak kemalaman sampai disitu,”
“Iya, Bapak jalan dulu,”
“Iya, Pak. Hati-hati di jalan.”
Setelah pak Tua itu berlalu dari hadapanku, kuputuskan untuk kembali melanjutkan perjalananku menyurusuri Hutan Larangan ini.
~~
Hari sebenarnya masih belum terlalu sore, tapi karena kulihat langit mulai menghitam, maka kuputuskan untuk singgah dan sekalian berteduh di rumah berwarna biru, jika memang hujan turun lebih cepat dari perkiraanku.
Siang tadi, lelaki tua yang sempat duduk lama denganku itu, telah menceritakan semua perjalanan hidupnya hingga bisa sampai ke tempat ini, mengatakan bahwa Rumah Semi Permanen berwarna biru ini adalah tempat tinggalnya.
~~
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang hingga menggugurkan dedauan sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan, ketukanku pada pintu Rumah berwarna biru sambil mengucapkan salam itu baru di respon oleh penghuninya ketika hujan mulai turun dengan lebatnya di tempat ini.
Di antara gemuruh suara air hujan dan kilatan cahaya petir di bawah langit yang menghitam, terdengar sahutan suara seseorang dari dalam Rumah. Terdengar suara seseorang yang sepertinya tengah berusaha membuka pintu Rumah Semi Permanen berwarna biru langit ini.
Pintu Rumah ini terbuka, kulihat bukanlah Lelaki tua yang siang tadi menawarkan untuk singgah ke tempat kediamannya siang tadi kepadaku, tapi seorang wanita paruh baya yang kulihat tengah mengenakan Baju Gamis lengkap dengan kerudung panjang yang semuanya berwarna merah marun.
Kutatap wanita paruh baya di depanku, usianya sekitar 50 tahun tapi masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya dulu.
Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, semua bulu-bulu halus di tubuhku meremang berdiri, saat membalas senyuman wanita berkulitnya kuning langsat yang memiliki mata sedikit sipit, bertubuh tinggi semampai yang kuperkirakan tinggi tubuhnya sekitar 163 di depanku.
Sambil tersenyum, Wanita paruh baya yang masih menyisakan sisa-sisa kecantikan masa mudanya itu berkata,
“Masuklah ke dalam Bang, di luar hujan,”
Sekian
Catatan: Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.