Menampilkan postingan dengan label puisi
Artikel
Demi Masa
1919 Artikel Fiksi puisi

Demi Masa

 

Demi Masa

Demi masa dan takdir anak manusia, untukmu yang ditakdirkan untuk menemaniku baik di gelap dan terangku, di bangun dan tidurku, di sedih dan bahagiaku dan di "ada" dan 'tiada"ku, kuingin abadi  bersamamu. 

Demi masa dan usia, untukmu yang selalu hadir di dalam mimpi-mimpi dan juga harapanku. Bersamamu aku ingin melangkah dan menua bersama. 

Demi masa dan kalimat - kalimat yang bernyawa. Aku adalah engkau dan engkau adalah aku. Kalimat itu bukan kalimat biasa, karena itu adalah untaian doa yang melahirkan sumpah, bahwa hanya maut yang mampu memisahkan kita. 

Demi angin dan rintik hujan yang selalu menjadi inspirasi bagi para pujangga, tak lagi ada kata dan diksi yang mampu kurangkaikan untuk ungkapkan rasa cinta, karena bagiku engkau adalah cinta yang tak mengenal paras dan rupa. Kau adalah cinta yang akan selalu ada walau kelak dunia ini tak lagi ada.

Demi bulan dan bintang yang menjadi saksi, ketika anak manusia mengikrarkan sumpah dan janji untuk setia atas nama cinta, pada bulan dan bintang kutitipkan salam pada Sang Pemilik cinta. 

Demi deburan ombak di lautan, tak ada lagi perumpaan kata yang mampu kupakai untuk menggambarkan betapa engkau sangat berharga.

Demi masa dan kesaksian, jika di awal penciptaan dunia, Adam meminta Tuhan ciptakan Hawa untuk menjadi pendamping hidupnya, maka di akhir zaman aku meminta kepada-Nya agar menjadikanmu sebagai pendampingku, sampai ajal menjemput.

Demi masa dan segalanya, kan kukatakan pada dunia dan seisinya bahwa tiada syair ataupun puisi yang pantas kupersembahkan kepadamu selain untain demi untaian kata yang berisi doa. Aku hanya meminta matikan rasa cinta ini untuk yang lain, hidupkan rasa cinta ini hanya untuk engkau seorang.



Untuk segala sesuatu ada masa nya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

 

 Kembali

@ 1919.my.id, All rights reserved.

-->
Artikel
Sudut Ruang
ADSN1919 Artikel puisi

Sudut Ruang

Foto oleh Kristin Vogt dari Pexels



Satu sudut ruang penuh cerita

Memasuki ruang berkasur biru 

keluar atau berakhir di ruang yang paling ujung

Ada yang keluar melewati pintu depan 

Ada juga yang keluar melewati pintu belakang 

Ujian kesabaran menunggu satu keputusan

Pembaringan berwarna biru terasa panas meski udara malam menggigit kulit 

Ditempat  ini ada yang bertahan ada pula yang menyerah 

Berjuang sendirian tidak mau keluar lewat pintu belakang 

Masih ingin melihat wajah penuh cinta menanti sebuah kehadiran 

Terasa tangan tergenggam penuh cinta 

Aku tau engkau ada bersamaku

Ruang dan waktu tak bersekat

Satu sudut ruang penuh cerita pergulatan antara hidup dan mati


ADSN1919


-->
Artikel
Kopi, Kata dan Kita
Artikel puisi Warkasa1919

Kopi, Kata dan Kita



Apa yang engkau ingat tentang kita? 

Apa yang engkau ingat tentang kata? 

Dan apa yang engkau ingat tentang secangkir kopi yang pernah kita sesap bersama?  

    

Apakah engkau masih ingat tentang kata dan kopi yang pernah terucap dari bibir - bibir kita?  Saat itu untaian demi untaian kata terucap dari bibir kita begitu saja dan tanpa ada perencanaan sebelumnya.

Dan apakah engkau tau? Bahwa kini, di depan secangkir kopi yang pernah kita sesap bersama, saat ini, kata demi kata yang tidak terencanakan sebelumnya itu mulai terlihat menjadi nyata.

Apakah engkau masih ingat? Saat itu, di depan secangkir kopi, engkau berkata, "Suatu saat kita akan pergi kesana." 

Di bawah semburat  cahaya senja, saat itu kulihat satu jari telunjukmu menunjuk ke arah sebuah Kota. Dan saat itu, sambil tersenyum aku melihat ke arah sebuah Kota sambil mendengarkanmu kembali berkata,"Itu adalah kota impian, Kota impian para Pujangga."  

Kini, setelah sekian lama, di depan secangkir kopi yang sama, ternyata  aku dan engkau masih menginginkan hal yang serupa. Tapi, apakah engkau masih ingat? Bahwa engkau dahulu juga sering bertanya,   

 

Apa kabar kopi?

Apa kabar kata? 

Apakah kalian baik-baik saja disana?   

 

Apakah engkau tau? Bahwa setelah sekian lamanya bergulat dengan kata - kata, di depanmu dan di depan secangkir kopi yang pernah kita sesap bersama, aku masih ingat bahwa masih ada mimpi - mimpi kita yang masih belum terwujud secara nyata. 

Apakah engkau tau? Bahwa hingga saat inipun aku masih percaya dan berharap bahwa semua mimpi-mimpi kita itu akan menjadi nyata.

Apakah engkau masih memiliki mimpi dan harapan yang sama? Harapan dan impian bahwa suatu saat engkau dan aku tetap akan menjadi “kita” untuk selama. 

Dan apakah engkau masih percaya? Bahwa aku, dan engkau adalah kita, kita yang percaya bahwa kopi dan kata adalah napas yang menggerakkan kehidupan kita. 

 

Kini, di ujung masa, apakah engkau masih percaya? Bahwa engkau dan aku sesungguhnya “ada”  karena kata-kata yang pernah terucap di hadapan secangkir kopi di suatu senja.




 

-->